Dengar.id, BIMA – Budayawan Bima yang juga merupakan penulis sejarah Bima, Fahrurizki meluncurkan buku hasil karyanya yaitu KORE Eksistensi Kerajaan Sanggar dalam Sejarah dan Budaya
Kegiatan itu sekaligus dirangkai dengan diskusi publik, diisi oleh salah satu dosen di Universitas Nggusu Waru, Dewi Ratna Muchlisa sebagai pembicara dan Fathilah Fathanian sebagai moderator
Turut hadir pula dalam kegiatan itu yaitu keluarga Kerajaan Sanggar
Peluncuran dan Bincang buku itu diadakan di Museum Samparaja Bima, pada Sabtu 10 Februari 2024
Fahrurizki menuturkan bahwa penulisan buku ini sendiri tercatat di daftar pustakanya diambil dari salah satu catatan Naskah kerajaan Bima yaitu Bo’ Sangaji Kai dan wawancara maupun prosesnya secara lokal.
“Catatan-catatan dalam Bo’ Sangaji Kai terutama pada era abad-abad 19, ada di dalam bagian buku ini” Tuturnya
Berbicara Soal Kerajaan Sanggar, banyak persepsi mengatakan bahwa Kerajaan Sanggar telah hilang ditelan Tambora, Sanggar itu awal kerajaan yang ada sebelum adanya pekat dan tambora itu memang yang ada kerajaan Sanggar oleh itu Zollinger menyebut wilayah semenanjung itu semenanjung sanggar untuk wilayah tambora. tambahnya
Lebih lanjut, Fahrurizki mengatakan sekitar pada tahun 1860-an wilayah tambora pernah diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang di Makassar itu diberikan kepada Raja La Ka Me’a untuk mengelola wilayah semenanjung sanggar.
Anak-anak Raja Bima inilah yang membangun kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, Tuturnya
“Sanggar ini juga punya komoditi dagang yang saing bersaing dengan Bima yaitu kuda” ungkapnya
Kuda yang terkenal di Batavia, Perak, Malaka dan Betaven (Belanda) itu yang terkenal kuda Bima dan Kore
Di Jember juga ada lagu-lagu tradisional mereka sampai sekarang Jaran Kore Sampai di populerkan oleh Koesplus
Alasan mengambil judul Buku Kore, karena mengambil dari latar belakang historinya Raja Daeng Jaeng saat ia kembali dari Nggembe di membangun kembali peradaban seakan-akan hilang. Dibangunnya lagi kembali Kerajaan Sanggar ke permukaan, mungkin itu maknanya. imbuhnya
Dewi Ratna Muchlisa menambahkan, mengenai Kore itu di naskah tahun 1700 tidak disebutkan Kore tapi Sanggar, jadi mungkin istilah Kore baru-baru setelah abad ke 18
“memang kalau kita ingin mengetahui tentang kerajaan-kerajaan yang ada yang tidak memiliki naskah, kita bisa merekonstruksi dari sejarah bima, karena naskah-naskah bima ini baru 50% yang sudah diteliti”, ungkapnya
Menulis sejarah sebaiknya mengambil dari sumber lokal karena merupakan sumber primer. Tambahnya. (AR)
Komentar