Indonesia Berpotensi Untung Rp8 Ribu Triliun dari Perdagangan Karbon

Dengar.id, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pembangunan rendah karbon menjadi salah satu strategi transisi menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan.

“Strategi ini memiliki potensi pendapatan sebesar 565,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 8.000 triliun,” ungkapnya dalam acara Global Network Week di Universitas Indonesia, Selasa (15/3/2022).

Dikatakannya, saat ini harga jual karbon dunia berkisar 5-10 USD/ton CO2.

“Hasil Kesepakatan COP-26 semakin meningkatkan permintaan global akan kredit karbon, sehingga membuat harga jual karbon menjadi lebih tinggi,” jelasnya.

Ketua Umum DPP Partai Golkar ini mengatakan, hutan dan lautan Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan kredit karbon yang dapat ditransaksikan di tingkat global untuk pencapaian target penurunan emisi di banyak negara.

“Pada pertemuan G-20 dapat digunakan untuk melakukan kerja sama ini dengan negara-negara maju,” tandasnya.

Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) ini menuturkan, komitmen pemerintah untuk membangun fondasi ekonomi hijau didukung dengan alokasi angaran melalui skema APBN dan non-APBN dalam pembiayaan program ekonomi hijau.

“Program ekonomi hijau inklusif ini, dilakukan sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional. Dan, telah masuk dalam dokumen perencanaan RPJMN 2020-2024 dengan tiga prioritas,” bebernya.

“Ketiga prioritas itu, yaitu peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon,” sambungnya.

Komitmen Indonesia itu juga, lanjut Airlangga, tertuang dalam UU Nomor 71 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia sekitar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

“Indonesia menetapkan target Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat jika mendapat dukungan internasional,” tegasnya.

Airlangga menuturkan, pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) ini anggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN.

“Dimana 88,1 persen diantaranya dibelanjakan dalam bentuk infrastruktur hijau sebagai modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia,” ungkapnya.

Menko Airlangga juga mengaku, tantangan pembangunan rendah karbon adalah sangat besarnya investasi yang dibutuhkan.

Menurutnya, pendanaan perubahan iklim Indonesia membutuhkan Rp 3.799 triliun jika mengikuti NDC atau komitmen berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon nasional untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Selain itu, dana yang tersedia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada 2020 adalah 100 juta dolar AS untuk diberikan kepada negara miskin dan berkembang. Hal ini sebagaimana dikonfirmasi pada COP-26 di Glasgow Scotland pada November 2021.

Pemenuhan lainnya berasal dari pendanaan internasional seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, APBD, pajak karbon, dan perdagangan karbon.

Untuk diketahui, ada lima sektor penyumbang emisi karbon, yaitu kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk.

Sementara kebijakan di bidang pertanahan, antara lain restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, dan pencegahan deforestasi menjadi lahan pertanian. Dan di bidang persampahan, termasuk pengelolaan sampah melalui ekonomi sirkular. Sektor fiskal mencakup penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi energi secara menyeluruh pada tahun 2030.

Komentar