Sejarah Penetapan Harkitnas, Antara Misi Soekarno dan Organisasi Budi Utomo

Dengar.id, JAKARTA – Negara ini telah menetapkan setiap tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ini merupakan inisiasi Ir. Soekarno pada awal-awal kemerdekaan.

Tanggal tersebut dipilih sesuai dengan waktu didirikannya organisasi Budi Utomo. Dia menilai perlu adanya simbol pemersatu bangsa, guna melawan segala bentuk penjajahan.

Misi Soekarno

Dalam kilasan sejarah negara ini, peringatan Harkitnas pertama kali dilaksanakan pada 1948 di Yogyakarta oleh Presiden pertama RI. Dalam situs Kemdikbud, disebutkan pada waktu itu Bung Karno meminta Ki Hajar Dewantara untuk memperingati hari lahir Budi Utomo sebagai Hari Kebangunan Nasional, yang kemudian dinamai sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Inisiasi penetapan Hari Kebangkitan Nasional diawali dua tahun setelah kemerdekaan. Tahun 1947, Belanda melancarkan agresi militer, sehingga timbullah gejolak sosial dan politik. Pada waktu itu, ibu kota pun sempat dipindah ke DI Yogyakarta.

Tak lama kemudian, muncullah oposisi pemerintah yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Oposisi ini memiliki nama Front Demokrasi Rakyat dan menjadi gabungan organisasi Sayap Kiri.

Ketika itu, pasokan beras pun sempat bergolak sehingga timbullah krisis ekonomi. Selanjutnya, Bung Karno mencari simbol yang dapat mempersatukan bangsa di tengah situasi saat itu.

“Bung Karno mencari jejak sejarah yang bisa menjelaskan asal usulnya gerakan Bangsa Indonesia. Budi Utomo jelas masih bersifat kedaerahan awalnya, tetapi yang membedakan dengan organisasi lainnya saat itu adalah unsur modernitasnya. Bagaimana ada mekanisme pemilihan ketua dalam organisasi,” ungkap sejarawan Hilmar Farid.

Bung Karno pun akhirnya menetapkan hari kelahiran Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional pada tahun 1948. Organisasi ini didirikan oleh beberapa mahasiswa STOVIA atau School tot Opleiding van Indische Arsten.

Dalam kondisi politik yang masih semrawut itu, menurut sejarawan Taufik Abdullah dalam Jurnal Masyarakat Indonesia No. 2 tahun 2008, tokoh pergerakan Ki Hadjar Dewantara dan Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Sukarno agar tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

“Dalam keadaan Republik yang krusial itu, sebuah simbol baru persatuan sangat dibutuhkan,” kata Taufik.

Sukarno sepakat. Ia lantas menetapkan Hari Kebangkitan Nasional dengan tujuan untuk merangkul semua kelompok dan mengumpulkan kekuatan guna melawan Belanda.

Acara itu diisi dengan pawai yang menunjukkan kekuatan militer pada 20 Mei di Solo. Pawai ini diikuti semua kalangan pemerintah dan masyarakat dengan harapan bisa mencegah perpecahan.

Organisasi Budi Utomo

Beberapa tokoh yang mendirikan Budi Utomo adalah Dr. Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soelaiman, Gondo Soewarno, Soeraji Tirtonegoro, M. Soewarno, Angka Prodjosoedirdjo, RM. Goembrek, dan Moehammad Saleh. Meski begitu, terdapat satu sosok yang punya peran penting dan menginspirasi, yakni dr. Wahidin Soedirohusodo. Beliau juga merupakan alumni STOVIA.

Kisahnya, dr. Wahidin kerap pergi ke kota besar di wilayah Jawa menyebarkan gagasan tentang bantuan dana untuk para pelajar pribumi berprestasi yang tidak mampu sekolah. Pada waktu-waktu ini, dia bertemu pendiri Budi Utomo.

Akhirnya, dr. Wahidin menggagas ide untuk mencerdaskan bangsa dengan studiefonds atau dana pendidikan. Tujuan dari dana ini adalah agar tidak mudah diadu oleh penjajah. Sementara itu, Soetomo dan kawannya yang sama-sama mempunyai rasa nasionalisme perjuangan tinggi, sepakat membentuk Budi Utomo.

Pada awal abad ke 19, eksploitasi kolonial, politik liberal, dan politik etis yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda mengakibatkan keadaan sosial ekonomi semakin buruk. Wahidin lantas berkeliling pulau Jawa dan menyebarkan propaganda.

Dia mendorong adik tingkatnya di STOVIA agar membentuk organisasi yang mengangkat derajat bangsa.

Mengutip ‘Nusantara Sejarah Indonesia’ karya Bernard Vlekke, Wahidin bersama pelajar Stovia Sutomo, Gunarwan, dan Sunarja mendirikan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 di Jalan Abdulrahman Saleh No. 26, Jakarta.

Soetomo didapuk menjadi ketua. Bahasa Melayu pun dijadikan bahasa resmi organisasi tersebut. Organisasi ini bertekad menyadarkan masyarakat Indonesia dalam melestarikan budaya dan berupaya meningkatkan taraf hidup lewat pendidikan. Meskipun, fokusnya saat itu masih di Jawa dan Madura.

Kala itu Boedi Oetomo membatasi kegiatan di aspek pendidikan dan kebudayaan di Jawa dan Madura, belum memiliki cita-cita politik, misalnya memerdekakan Indonesia.

Meski begitu, di kemudian hari organisasi ini memiliki cita-cita tersebut dan tidak lagi terpatok di Jawa dan Madura saja. Tokoh-tokohnya pun berperan dalam pergerakan nasional di masa selanjutnya, seperti Dr Cipto Mangunkusumo serta Dr. Radjiman Wediodiningrat.

Pasca Kongres pertama pada 3-5 Oktober 1908, orientasi organisasi ini berubah yang mulanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi menjadi menekankan bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat secara komprehensif.

Dalam perjalanannya, Husaini Husda menyebut organisasi ini terpecah menjadi golongan tua dan muda. Golongan tua mengambil jalan sosio kultural dan mengangkat kalangan priyayi dan pejabat kolonial.

Sementara, golongan muda menempuh jalan politik guna menghadapi pemerintah Hindia Belanda. Perjuangan golongan muda ini dinilai tepat karena bisa mengimbangi pemerintah Hindia Belanda. (AY)

author avatar
arif dengar.id

Komentar