Dengar.id, NTB – Intelektual Buddhis asal Kabupaten Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat (NTB) angkat bicara soal insiden antar warga yang terjadi di Desa Mareje, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Kamis (13/5/2022).
”Kehidupan bermasyarakat dalam bingkai pluralisme yang toleran dan harmonis di desa ini sudah lama terjalin,” kata Dr. Li. Edi Ramawijaya Putra, M. Pd, pada Dengar.id, Jumat (13/5/2022).
Menurutnya, kesadaran akan toleransi ini bukan hanya atas asas ideologi berbangsa tapi juga dari asas kultural. ”Kita tahu bahwa umat Buddha dan Islam yang ada di Ganjar dan Lauk Bangket sama-sama orang suku sasak dan berbahasa berdialek Pujut (meriak-meriku),” ujarnya.
Kesadaran kesamaan kultural ini, lanjut Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris ini, harus direkonstruksi agar ketika terjadi ketegangan dan dinamika beragama yang membawa potensi konflik horizontal.
”Masing-masing pihak dapat menahan diri dan saling melihat kembali faktor kesamaan secara kultural,” paparnya.
Akademisi di Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang menuturkan, bahwa pasca perdamaian kedua belah pihak yang dimediasi oleh aparat kepolisian agar masing-masing warga di dua dusun dan seluruh stakeholder keagamaan mengantisipasi provokasi oleh oknum yang memang tidak suka melihat religious harmony tercipta di tengah masyarakat NTB.
“Penting untuk selalu berhati-hati dengan posting, comment dan content yang diunggah dalam laman media sosial masing-masing,” tegasnya.
Pria yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Doktor Buddhis Indonesia (ADBI) ini juga, meminta kepada semua umat beragama agar selalu saling menghormati dan saling kuatkan secara mutual. “Jika terjadi chaos dan pertikaian yang rugi juga kita semua, tidak ada yang diuntungkan dalam sebuah permusuhan,” imbuhnya.
Edi menekankan, pentingnya edukasi moderasi beragama yang saat ini menjadi jargon dan program utama Kementerian Agama. “Di masing-masing Kabupaten dan Kota ada Kandepag dan Pembimas setiap agama saya mengajak para aparatur sipil dan pemerintah daerah untuk kembali menguatkan moderasi beragama dalam praktek dan daur hidup kita di bumi Gora ini,” katanya.
Tentang kejadian di Mareje, Dr. Edi berharap, ini yang terakhir dan tidak terjadi lagi di semua wilayah di NTB yang tersohor relijius.
“Jika ada riak-riak dinamika kehidupan beragama mekanisme adat, musyawarah tetoaq (tokoh) di atas berugak adalah mekanisme tepat pada konteks masyarakat sasak. Ini juga penting untuk mengantisipasi dampak lebih buruk dari gesekan masyarakat dan selaras juga dengan langkah Polri dalam implementasi restorative justice sebagai metode alternatif mencari titik temu dan titik damai,” pungkasnya.
Komentar